Sampai hari ini kita masih saja diributkan dengan perdebatan tentang ayat-ayat mutasyabihat. Diskusi tentang Allah di ‘Arsy atau tidak dan semacamnya masih saja meramaikan jagat raya. Pembahasan yang tidak bisa dituntaskan oleh ulama-ulama besar dulu, dilanjutkan oleh ulama-ulama kecil hari ini. Bahkan yang bukan ulama ikut-ikutan merasa jadi ulama dan ikut nimrung dalam perdebatan itu. Hasilnya, bukannya mengungkai benang yang kusut, tapi malah membuat yang kusut semakin kusut, bahkan berantakan.
Saya tidak ingin khudhu’ (ikut serta) pula dalam membahas masalah tersebut. Saya hanya ingin mengemukakan pandangan saya dalam masalah ini.
Begini. . .
Sebenarnya setiap kita sudah dikaruniai Allah fitrah salimah atau fitrah suci untuk memahami hal itu. Setiap orang yang beriman mempunyai keyakinan dan pemahaman yang sama tentang permasalahan “tangan Allah, Allah istiwa’ ‘alal ‘Arsy, wajah Allah dan lainnya. Keyakinan yang ada di dada setiap orang beriman tentang ayat-ayat mutasyabihat itu suci dari penyerupaan Allah dengan makhluk, yakin bahwa Allah bersih dari segala sifat kurang dan Allah bersifat dengan segala sifat kesempurnaan yang pantas bagi-Nya.
Cuma, ketika berusaha mengungkapkannya dengan kata-kata atau tulisan, maka kecerdasan setiap orang berbeda dalam menjelaskan apa yang ada di dalam hati dan pemahaman mereka tentang Allah. Sehingga melahirkan pemahaman yang berbeda-beda bagi orang yang mendengar atau membacanya. Ditambah lagi, orang yang membaca dan mendengarnya juga memiliki kemampuan akal dan pemahaman yang berbeda-beda. Semakin ruet dan runyamlah permasalahannya.
Padahal menurut saya permasalahannya sederhana saja, sesederhana Rasulullah mengajarkan aqidah tauhid kepada para shahabat beliau. Setelah seorang shahabat mengucapkan dua kalimah syahadat, Rasulullah tidak menguji pemahamanya dengan meminta keterangan; apa yang kalian pahami tentang tangan Allah, tentang Allah istiwa’ di atas ‘Arsy, dsb. Yang dilakukan Rasulullah hanya mengajarkan para shahabat untuk beramal. Karena kebenaran aqidah itu bukan tercermin dengan kehebatan mengungkapkan apa yang dipahami di dalam dada. Akan tetapi, kebenaran aqidah itu akan tercermin dalam amalan sehari-hari.
Imannya terbukti benar ketika mereka tidak menyembah, meminta, dan bermunajat selain kepada Allah. Imannya tergambar dengan taat melakukan perintah-perintah Allah. Aqidahnya terbukti lurus dengan legowonya dia untuk meninggalkan segala yang dilarang Allah. Tawakalnya sangat jelas kepada Allah di saat kesusahan hidup melanda. Puji syukurnya kepada Allah kentara dalam segala kondisi kehidupan yang ia lalui. Sekalipun dia tidak bisa menjelaskan dengan kata-kata apa maksudnya “Allah istiwa’ di atas ‘Arsy.
Apalah artinya iman ketika lidah fasih menjelaskan permasalahan Allah istiwa’ ‘alal ‘Arsy, tangan Allah, wajah Allah dsb, namun ibadah yang dituntut Allah darinya lalai ia kerjakan, batasan yang dilarang Allah tanpa canggung ia terobos, candu untuk sujud kepada kuburan dan memohon kepada arwah leluhur belum mampu ia tinggalkan.
Selain itu, permasalahan aqidah ini adalah hal yang sangat berat. Salah-salah masuk neraka secara permanen akibatnya. Dan agama ini diturunkan Allah bukan hanya untuk orang cerdas yang akalnya mampu berfilsafat-filsafat. Agama ini juga diuntukkan bagi orang awam yang cara pikirnya sederhana saja.
Oleh karena itu, tentu saja Allah tidak menuntut penjelasan dengan kata-kata firman-Nya itu. Tapi cukup dengan amalan. Semakin banyak amal ketaatannya kepada Allah, tentu itulah orang yang paham akan maksud firman-Nya.
Wallahu a’lam bish shawab.