Sejarah Ringkas Manahij al Mufassirin dan Perkembangannya

Pendahuluan

            Allahmenurunkan al-Quran dengan memberikan jaminan tidak akan pernah disentuh tangan kotor manusia yang akan menodai kesucian dan keotentikannya. Namun jaminan itu bukan terjadi begitu saja, tapi Allah membuatkan sarananya dengan mengilhamkan kepada diri hamba-hamba pilihan-Nya untuk selalu menekuni al-Quran. Semenjak zaman Rasulullah sampai detik ini al-Quran tidak pernah berhenti menjadi bahan study yang selalu hangat untuk dibahas.

            Hasil dari penelitian itu selalu diabadikan dengan lahirnya ilmu-ilmu baru yang dimuat dalam kitab-kitab dan memenuhi perpustakaan. Berikut ini kita akan mengkaji sekelumit perkembangan kegiatan ulama dalam mempelajari al-Quran semenjak zaman Rasulullah sampai sekarang dan beberapa karya besar yang mereka wariskan untuk kita.

Tafsir pada periode pertama ( Sahabat Rasulullah SAW)

            Menafsirkan al-Quran pada masa hidup Rasulullah bukanlah masalah yang berat. Karena, di samping para shahabat adalah orang yang paham bahasa Arab, juga bila mendapatkan kesulitan dalam memahami suatu ayat, mereka sangat mudah untuk merujuk kepada Rasulullah. Sementara tafsir yang disampaikan oleh Rasulullah sudah pasti kebenarannya.

            Sungguhpun demikian bukan berarti seluruh ayat sudah ditafsirkan oleh Rasulullah secara detail. Bahkan ayat yang sudah diberi komentar bisa dikatakan sangat sedikit bila dibandingkan dengan seluruh ayat al-Quran. Dengan bukti sangat sedikitnya hadis-hadis yang  diriwayatkan dari Rasulullah yang bercerita tentang penjelasan ayat al-Quran.

            Adapun yang menjadi sumber tafsir pada periode ini — di samping Rasulullah itu sendiri yang dibimbing langsung oleh wahyu – ada tiga sumber lagi, yaitu  pertama;  al-Quran dengan al-Quran yang saling menjelaskan satu ayat terhadap ayat yang lainnya. Kedua kecerdasan para sahabat dalam berijtihad. Dimana perangkat ijtihad sahabat ini berdasarkan kekuatan hafalan, pemahaman mereka terhadap adat dan tabiat orang Arab serta pengetahuan tentang asal kata dan sastra bahasa mereka sendiri.  Di samping mereka juga menyaksikan sebagian sebab-sebab turunnya ayat. Ketiga, ahli kitab baik yang Nashrani maupun Yahudi, terutama sekali yang memeluk agama Islam di antara mereka.

            Di tengah-tengah sahabat ada yang terkenal sebagai ahli tafsir. Mereka adalah : empat orang dari khulafaurrasyidin, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa Asy’ari dan Abdullah bin Zubair. Selain yang sepuluh orang ini ada lagi beberapa orang sahabat yang berbicara tentang tafsir, sekalipun tidak sebanyak mereka yang sebelumnya. Mereka adalah Anas bin Malik, Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Amr bin Ash dan Aisyah.    

            Secara lebih khusus lagi, ada empat orang sahabat yang paling banyak menafsirkan al-Quran, yaitu Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Abdullah bin Mas’ud dan Ubay bin Ka’ab.

            Al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak menempatkan tafsir sahabat ke dalam hukum hadis marfu’. Tetapi, Ibnu Shalah  dan Imam Nawawy memberikan syarat tambahan, yaitu yang berhubungan dengan asbabunnuzul dan perkara-perkara yang tidak ada kesempatan untuk berijtihad di sana, seperti hal-hal yang berhubungan dengan masalah gaib yang tidak mungkin ikut campur akal.

            Yang menjadi ciri khas tafsir pada periode sahabat ini adalah:

  1. Al-Quran belum ditafsirkan secara keseluruhan.
  2. Kebanyakan masih sebatas penafsiran secara global, belum sampai kepada detail-detail masalah.
  3. Terbatas pada penjelasan makna-makna kosa kata sulit
  4. Belum ada pembukuan tafsir pada masa ini.
  5. Tafsir pada periode ini berbentuk hadis, bahkan bagian dari hadis itu sendiri.

Adapun nilai tafsir sahabat ini menempati posisi ketiga dalam tafsir bil ma’tsur setelah tafsir al-Quran dengan al-Quran dan tafsir al-Quran dengan sunnah atau hadis.

Tafsif pada periode kedua (tabi’in)

Sepeninggal para sahabat para tabi’in meneruskan tradisi para sahabat Rasulullah dalam menekuni, mempelajari dan menafsirkan al-Quran. Sebagaimana terkenalnya sebagian sahabat dalam keahliannya menafsirkan al-Quran demikian juga halnya dengan sebagian tabi’in. Mereka banyak berbicara tentang tafsir dan memberikan penjelasan yang dibutuhkan oleh orang yang se-zaman dengan mereka tentang rahasia-rahasia tersembunyi dalam al-Quran dimana sebagian besar dari hasil tafsiran mereka itu sampai kepada kita pada hari ini.

            Para tabi’in itu bisa kita kelompokkan menjadi beberapa madrasah, yaitu:

  • Madrasah Tafsir Makkah al-Mukarramah yang dikepalai oleh Abdullah bin Abbas.  Dari madrasah ini lahir murid-murid terkenal  yang menjadi ahli tafsir tabi’in. Di antaranya: Sa’id bin Jubair, Mujahid bin Jabr, ‘Ikrimah al-Barbary, Thawus bin Kaisan al-Yamany dan ‘Atha’ bin Abi Rabah. Menurut Ibnu Taimiyah, madrasah Makkah adalah orang yang paling tahu tentang tafsir, karena yang menjadi guru besarnya ialah Abdullah bin Abbas, seorang yang mendapatkan legalitas khusus dari Rasulullah untuk menafsirkan al-Quran.
  • Madrasah Tafsir Madinah Munawwarah. Adapun yang menjadi maha gurunya adalah Ubay bin Ka’ab. Di antara murid-murid keluaran madrasah ini yang terkemuka;  Abu al-‘Aliyah, Muhammad bin Ka’ab al-Qurazi dan Zaid bin Aslam.
  • Madrasah Tafsir Iraq/Kufah. Yang menjadi guru besar di madrasah ini adalah Abdullah bin Ma’ud. Dari sini juga lahir ahli-ahli tafsir terkenal, seperti ‘Alqamah bin Qais, Masruq bin Ajda’, Al-Aswad bin Yazid, Murrah al-Hamdany, ‘Amir asy-Sya’by, Hasan al-Bashry, Zirru bin Hubaisy, ‘Ubaydah bin Nudhailah, Abu Abdurrahman as-Sulamy  dan Qatadah bin Di’amah.

Ulama berbeda pendapat dalam memberikan penilaian terhadap tafsir tabi’in. Sebagian mereka tidak menerima, dengan alasan bahwa tabi’in tidak mendengar langsung dari Rasulullah, maka tidak mungkin kita menyamakan posisinya dengan tafsir sahabat. Di samping itu mereka juga tidak menyaksikan kondisi ayat al-Quran diturunkan. Oleh karena itu boleh saja mereka salah dalam memahami ayat. Selanjutnya, keadilan tabi’in tidak terjamin seperti keadilan sahabat. Sementara sebagian ulama menerima tafsiran tabi’in dengan alasan, biasanya mereka mendapatkannya dari sahabat.

Menurut Dr. Muhammad Husein adz-Dzahaby pendapat tabi’in dalam masalah tafsir tidak wajib untuk diikuti, kecuali yang berkenaan dengan permasalahan yang barada diluar jangkauan akal. Dalam kondisi seperti ini boleh mengambil pendapat tabi’in kalau tidak terdapat hal yang mencurigakan kalau-kalau tabi’in tersebut mengambilnya dari ahli kitab. Namun bila para tabi’in sepakat dengan suatu pendapat, wajib bagi kita untuk berpegang dengannya.

Ciri khas tafsir pada masa itu terlihat pada hal barikut:

  1. Tafsir mulai disusupi oleh israiliyat
  2. Muncul pada masa ini bibit-bibit perbedaan mazhab.
  3. Tafsir masih disebarkan melalui hafalan dan talaqqi dari mulut ke mulut.
  4. Banyak terjadi perbedaan pendapat pada kalangan tabi’in.

Tafsir pada periode ketiga (tadwin/kodifikasi)

            Dimulai periode ketiga ini dengan munculnya pembukuan tafsir. Hal itu terjadi di akhir pemerintahan Bani Umayyah dan di awal berdirinya dinasti Abbasiyah. Pada masa   sebelumnya tafsir sebagian besar berbentuk riwayat dari mulut ke mulut. Berawal dari Rasulullah, disampaikan kepada sahabat, dan dari sahabat kepada tabi’in. Sebagian besarnya hanya mengandalkan kekuatan hafalan dan kedalaman pemahaman. Sedikit di antara mereka yang menuliskan apa yang mereka ketahui tentang tafsir, apalagi sampai berbentuk kitab.

            Periode ini mempunyai kelebihan dari sebelumnya, yaitu dimulainya kodifikasi karya. Terutama kodifikasi hadis-hadis Nabi. Pada awalnya tafsir menjadi bagian dari bab hadis, seperti yang dilakukan oleh Imam Bukhari dan Muslim dalam jami’ shahihnya. Kemudian berkembang sehingga menjadi ilmu yang berdiri sendiri.

            Tidak mudah mengetahui siapa orang pertama yang menafsirkan al-Quran secara keseluruhan menurut urutan ayat perayat. Tapi yang sampai kepada kita sekarang adalah karya-karya yang diprakarsai oleh beberapa ulama besar, di antaranya : Ibnu Majah (273 H), Ibnu Jarir ath-Thabary (310 H), Abu Bakar an-Naisabury (318 H), Ibnu Abi Hatim (327 H), Ibnu Hibban (369 H), Al Hakim (405 H), Abu Bakar ibnu Mardawaih (410 H) dan lain-lainnya.  

            Semua tafsir ini berbentuk tafsir bilma’tsur, artinya diriwayatkan dengan penyandaran kepada Rasulullah, seterusnya kepada sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in. Belum ada di sana tafsir bentuk lain selain tafsir bil ma’tsur. Kecuali barangkali tafsir Ath Thabari yang mengungkapkan beberapa data riwayat dan pendapat-pendapat, kemudian memberikan tanggapan mana di antara riwayat dan pendapat itu yang kuat menurut penelitiannya. Selanjutnya ia mengungkapkan pemahamannya tentang hukum-hukum yang dapat diambil dari ayat tersebut.

            Setelah periode ini berlalu, barulah muncul tafsir birra’yi, artinya menafsirkan al-Quran dengan ijtihad dan penalaran. Cara menafsirkan al-Quran seperti ini boleh dilakukan sesudah seorang mufasir mempunyai modal pengetahuan dalam disiplin beberapa bidang ilmu pendukung. Diantaranya  ilmu bahasa Arab dengan segala perangkatnya, ilmu asbabunnuzul, nasakh dan mansukh, dan lain-lain. Imam As-Suyuthi dalam kitabnya Al-Itqan fi al-‘Ulum al-Quran mengungkapkan sekurang-kurangnya ada 80 perangkat ilmu yang harus diketahui seseorang sebelum ia menafsirkan al-Quran.

Gaya tafsir seperti ini semakin marak pada masa dinasti Abbasiyah sampai kepada masa kita sekarang. Sehingga muncullah ratusan kitab tafsir birra’yi dengan berbagaimacam corak disiplin ilmu yang melatar belakanginya. Di antaranya ada yang bertahan eksis sampai kepada kita hari ini, tapi tidak sedikit yang hilang atau masih berbentuk manuskrip (makhthuthath).

            Di samping itu, perkembangan tafsir juga diikuti dengan perkembangan ilmu-ilmu lain seperti ilmu bahasa (nahwu, sharf, bayan, ma’ani, badi’, syi’ir dll), ilmu kalam, ilmu fikih, ushul fikih dan lain sebagainya. Semuanya itu muncul dalam rangka menkhidmah al-Quran.

            Selain perkembangan periode, tafsir bil-ma’tsur juga bisa ditinjau dari beberapa fase perkembangan;

  1. Fase periwayatan dari hafalan.
  2. Fase kodifikasi hadis, dan tafsir menjadi bagian darinya.
  3. Fase pemisahan diri tafsir dari hadis, namun tetap berbentuk riwayat yang memiliki sanad.
  4. Fase periwayatan dengan menghilangkan sanad, sehingga terjadilah pada fase ini pemalsuan terhadap riwayat dan tercampurnya yang shahih dengan yang dhaif.
  5. Fase tercampurnya tafsir bil-ma’syur dengan tafsir birra’yi.

Klasifikasi Tafsir al-Quran

            Kitab-kitab tafsir yang sudah ditulis oleh para ulama bisa kita klasifikasikan menjadi beberapa bentuk pengklasifikasian:

A.  Klasifikasi tafsir dari segi bil-ma’tsur dan birra’yi, maka,

– yang tergolong kepada tafsir bil ma’tsur ialah:

1. Jami’ al-Bayan ditulis oleh Imam Ath-Thabary (310 H)

2. Bahr al-‘Ulum ditulis oleh Imam as-Samarqandy (373 H)

3. Al-Kasyfu wal Bayan fi Tafsir al-Quran oleh Imam Ats-Tsa’laby (427 H)

4. Ma,alim at-Tanzil ditulis oleh Imam al-Baghawy (510 H)

5. Al-Muharriru al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab al-‘Aziz oleh Ibnu ‘Athiyah (546 H)                     6. Tafsir al-Quran al ‘Azim ditulis oleh Ibnu Katsir (774 H)

7. Al-Jawahir al-Hasan fi Tafsir al-Quran ditulis oleh Ats-Tsa’aliby (876 H)

– yang tergolong kepada tafsir birra’yi ialah:

            1. Mafatih al-Ghaib karya Imam Fakhruddin ar-Razy (606 H)

            2. Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Ta’wil karya Imam al-Baidhawy (681 H)

            3. Madarik at-Tanzil karya Imam An-Nasafy (701 H)

            4. Lubab at-Ta’wil fi Ma’ani at-Tanzil karya Al-Khazin (741 H)

            5. Al-Bahr al Muhith karya Abi Hayyan (654 H)

            6. Garaib al-Quran wa Ragaib al-Furqan karya An-Naisabury (728 H)

            7. Tafsir Al-Jalalain karya Jalaluddin al-Muhalla (864 H) dan As-Suyuti (911 H)

            8. As-Siraj al Munir karya Imam Al-Khatib Asy-Syirbiny (977 H)

            9. Irsyad al-Aql as-Salim ila Mazaya al-Kitab al-Karim karya Abu Sa’ud (982 H)

            10. Ruh al Ma’any karya Imam al-Alusy (1270 H)

B. Klasifikasi tafsir dari segi spesialisasi disiplin ilmu pengarang, maka bisa kita kelompokkan sebagaimana berikut:

– Tafsir yang bercorak bahasa seperti: Ma’ani al-Quran  yang dikarang oleh beberapa orang, di antaranya Al Farra’ (207 H), Al Akhfasy (215 H), Az-Zajjaj (311 H), An-Nahhas (355 H). Majaz al-Quran karya Abu ‘Ubaidah (210 H). Al-Bahr al Muhith karya Abu Hayyan al-Andalusy (654 H) yang diberi tanggapan oleh Dr. Adzahay bahwa tafsir ini lebih cocok dikatakan kitab nahwu dari pada tafsir, karena saking melebar dan banyaknya beliau berbicara tentang nahwu.

– Tafsir yang bercorak fikih seperti: Ahkam al-Quran yang juga dikarang lebih dari satu orang, di antaranya: Imam al-Jashshash (370 H) dalam mazhab Hanafi, Imaduddin al-Kiya al-Hirasy (504 H) dalam mazhab Syafi’i dan Abu Bakar ibnu al-Araby (543 H) dalam mazhab Maliki. Kemudian  ditulis Al-Jami’ li Ahkam al-Quran oleh Imam Al-Qurthuby (671 H) juga dalam mazhab Maliki. Kanz al-‘Irfan fi Fiqh al-Quran ditulis oleh Miqdad as-Suyury pada akhir abad ke-8 dalam mazhab Imamiyah al-Itsna ‘Asyariyah, dan Ats-Tsamarat al-Yani’ah wa al-Ahkam al-Wadhihah al-Qathi’ah ditulis oleh Yusuf ats-Tsulaiy dalam mazhab Zaidiyah.

– Tafsir yang bercorak aliran pemikiran  seperti: Mu’tazilah diwakili oleh Al-Qadhi Abdul Jabbar (415 H) dengan karyanya Tanzih al-Quran ‘an al-Matha’in, Amaliy asy-Syarif al-Murtadha (436 H) dengan karyanya Garar al-Fawaid wa Durar al-Qalaid, dan Az-Zamakhsyary dengan karyanya Al-Kasysyaf ‘an Haqaiq at-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh at-Ta’wil.  

Adapun tafsir yang tulis dalam aliran Syiah seperti; Tafsir Al-Hasan al-Asykary imam ke-11 dari Syi’ah Imamiyah (260 H), tafsir ini diberi nama dengan nama pengarangnya, Majma’ al Bayan li ‘Ulum al-Quran karya Ath-Thabrisy (538 H), Ash-Shafi fi Tafsir al-Quran karya Mula Muhsin al-Kasyi (1075 H).

Selain itu ada juga tafsir yang ditulis menurut aliran sufi yang dikenal dengan tafsir isyary, di antaranya ialah: Tafsir At-Tustary karya Imam Sahal bin Abdullah at-Tustary (283 H), Haqaiq at-Tafsir karya Abu Abdurrahman as-Sulamy (412 H), Lathaif  al-Isyarat karya Imam Al-Qusyairy (465 H).

C. Klasifikasi Tafsir dari sudut pandang urutan ayat yang ditafsirkan akan membentuk empat kelompok :

1. Tafsir tahlily, yaitu menjelaskan ayat-ayat al-Quran dengan menampilkan segala sisi yang perlu dijelaskan. Ayat perayat, mulai dari awal sampai akhir al-Quran sesuai dengan urutan mushhaf.

2. Tafsir ijmaliy, yaitu menjelaskan al-Quran dengan memberikan keterangan secara global. Sebagai contoh untuk tafsir model ini adalah kitab tafsir Al-Quran al-‘Azhim karya Muhammad Farid Wajdy.

3. Tafsir muqaran, yaitu mengumpulkan beberapa pendapat ulama tafsir dalam satu ayat, kemudian menjelaskan ittijah, kelebihan dan kekurangan masing-masing.

4. Tafsir maudhu’i, yaitu membahas satu persatu tema sentral yang ada dalam al-Quran dengan mengumpulkan ayat-ayat yang senada untuk selanjutnya diuraikan dengan manhaj ilmiyah yang sistematis. Seperti: masalah riba, khamar, jual beli, nikah, dan lain-lain. Sebagai contoh: Ar-Riba fi al-Quran al-Karim karya Abu al-A’la al-Maududy, Washaya Surat al-Isra’ karya Dr. Abdul Hay al-Farmawy.

Perkembangan tafsir Modern

            Bagi orang yang mencermati kitab-kitab tafsir dengan segala gaya dan modelnya akan menemukan bahwa segala hal yang berhubungan dengan tafsir sudah diborong oleh ulama-ulama terdahulu, sehingga tidak meninggalkan bagian masalah yang akan dibahas oleh orang yang datang kemudian. Kecuali hanya melakukan tambahan-tambahan yang tidak terlalu siknifikan, seperti memberikan komentar terhadap tafsir yang sudah ada (menulis hasyiyah), menulis kritikan terhadap hal-hal yang dianggap tidak benar, atau menguatkan satu pendapat dari beberapa pendapat. Sehingga perkembangan tafsir menjadi jumud.

            Kondisi ini berlangsung sampai munculnya masa kebangkitan ilmu pengetahuan. Di mana terbukanya mata para ulama belakangan untuk meninjau kembali tafsir-tafsir yang sudah ada. Untuk selanjutnya melakukan pembersihan tafsir dari israiliyat yang hampir saja memudarkan keindahan al-Quran, menyeleksi hadis-hadis dhaif dan maudhu’ yang memenuhi kitab-kitab tafsir, dan menyederhanakan tafsir dari pembahasan yang terlalu bertele-tele. Di samping itu mulai menulis tafsir dengan menjelaskan rahasia-rahasia al-Quran dengan hasil penemuan-penemuan ilmiyah dan perenungan-perenungan sosial yang berlaku di tengah-tengah masyarakat.

            Perkembangan tafsir modern juga diperkaya dengan munculnya corak tafsir tematik (maudhu’i). Di mana tafsir model ini lebih besar mamfaatnya untuk menjawab kebutuhan masyarakat modern. Karena ia bisa menjawab setiap permasalahan dengan instant dan tuntas tanpa perlu membuka lembaran al-Quran satu-persatu.

            Berikut nama-nama tafsir yang dikarang oleh ulama belakangan menurut klasifikasinya:

1. Tafsir yang bercorak ilmiy diantaranya: Kasyfu al Asrar an-Nuraniyah al-Quraniyah fima Yata’allaqu bi al-Ajram as-Samawiyah wa al-Ardhiyah wa al-Hayawanat wa an-Nabat wa al-Jawahir al-Ma’daniyah karya Imam Muhammad bin Ahmad al-Iskandarany dicetak pada tahun 1297 H di Mesir. Al Jawahir fi tafsir al-Quran al-Karim karya Asy-Syaikh Thanthawy Jauhary (1358 H). Baru-baru ini juga muncul tafsir ilmiy hasil dialog dengan Prof. Dr. Zaglul an-Najjar seperti: Min Ayat al-I’jaz al-I’lmi fi al-Quran al-Karim dan lain-lain

2. Tafsir yang bercorak sosial kemasyarakatan seperti: Tafsir Al-Manar karya Asy-Syekh Muhammad Abduh (1323 H) dan Asy-Syekh Rasyid Ridha (1354 H). Fi Zhilal al-Quran karya Said Qutb.

3. Tafsir bercorak balagah atau bahasa, seperti: Al I’jaz al-Balaghi fi al-Quran ditulis oleh Aisyah binti Abdurrahman yang terkenal dengan Binti Syati’, I’rab al-Quran wa Bayanuhu ditulis oleh Muhyidin Ad-Darawaisy. Dan Tafsir al-Quran al-Karim wa I’rabuhu wa Bayanuhu ditulis oleh Ali Thaha ad-Durrah.

4. Tafsir ‘Am atau tafsir yang cara penulisannya menyerupai karya ulama terdahulu seperti: At-Tahrir at-Tanwir karya Muhammad ath-Thahir ‘Asyur (1393 H), Mahasin at-Ta’wil karya Jalaluddin al-Qasimy (1332 H), Shafwah at-Tafasir karya Muhammad Ali Ash-Shabuny, Tafsir Al-Wadhih oleh Muhammad Hijazy, Al-Munir karya Prof.Dr. Wahbah Zuhaily, Tafsir Asy-Sya’rawy karya Asy-Syekh Mutawalli asy-Sya’rawy.

            Dari sekian banyak kitab tafsir yang sudah kita sebutkan, mungkin kita berfikir, kitab mana yang perlu kita miliki untuk menjadi pegangan? Prof.Dr. Abdul Badi’ Abu Hasyim pernah berkomentar tentang hal ini, beliau berkata: “Bagi pelajar ilmu syar’i paling kurang harus memiliki tiga kitab tafsir, yaitu: tafsir Ibnu Katsir, Jami’ li Ahkam al-Quran dan Fi Zhilal al-Quran”. Selanjutnya dari deretan kitab tafsir, mana yang paling pantas untuk kita tempatkan pada peringkat pertama? Prof. Dr. Jum’ah Ali ketua Jurusan Tafsir Al Azhar Kairo (almarhum) juga memberikan komentar tentang hal ini. Beliau berkata: “Bila anda masuk taman bunga bisakah anda memberikan nilai terhadap salah satu bunga yang paling bagus serta memberikan peringkat nomor urut kepada masing-masing bunga? Tentu saja sulit, karena masing-masing bunga punya kelebihan. Begitulah kira-kira keadaan kitab tafsir itu satu dibanding yang lainnya. Masing-masing punya nilai lebih, di mana kita tidak bisa mengutamakan yang satu dan mengabaikan yang lain”.

Ilmu-ilmu al-Quran

            Keseriusan ulama dalam mengkhidmah al-Quran tidak terbatas pada menafsirkan saja, tapi juga meluas dengan membukukan ilmu-ilmu alat yang diperlukan dalam menafsirkan al-Quran. Ilmu ini sebagian berbentuk kaedah ilmu tafsir yang lazim disebut dengan ulum al-Quran. Ada ulama yang mengarang dengan memuat banyak hal tentang tafsir dan ada juga yang menulis satu-satu masalah. Di antara ilmu-ilmu  dan kitab yang ditulis ulama seputar itu ialah:

– Ulum al-Quran.

Ulum al-Quran adalah kumpulan dari masalah-masalah yang membahas tentang keadaan al-Quran dari segi turunnya, bagaimana cara membaca, menuliskan ,mengumpulkan, susunanya di dalam mushhaf, keterangan lafaz, kandungan maknanya dan lain sebagainya yang berhubungan dengan al-Quran. Ada dua turats penting yang sering jadi rujukan utama dalam hal ini, yaitu Al-Burhan fi ‘Ulum al-Quran karya Imam Badruddin az-Zarkasyi (794 H) dan Al Itqan fi ‘Ulum al-Quran karya Imam As-Suyuthy (911 H). Selain itu ada beberapa kitab yang ditulis ulama belakangan, diantaranya: Minhaj al-Furqan fi ‘Ulum al-Quran karya Asy-Syaikh Muhammad Ali Salamah  seorang ulama Al Azhar (1361 H), Manahil al ‘Irfan fi ‘Ulum al-Quran  karya Az-Zurqany. Dua kitab yang berjudul Mabahits fi ‘Ulum al-Quran yang ditulis oleh Shubhi Ash-Shalih dan Manna’ al-Qattan.

– Qiraat

            Kitab yang membahas tema ini sangat banyak. Sebagian membahas qiraat yang mutawatir saja, sebagian lagi membahas qiraat syadzdzah, dan ada juga yang memadukan keduanya. Diantara kitab yang sering dijadikan referensi dalam ilmu ini adalah Al-Iqna’ fi al-Qiraat as-Sab’ karya Abu Ja’far Ahmad bin Ali al-Anshary (540 H), An-Nasyr fi al-Qiraat al-‘Asyr karya Ibnu al-Jazry (833 H), Ittihaf Fudhala’ al-Basyar fi al-Qiraat al-Arba’ah ‘Asyr karya Syihabuddin al-Banna. – Asbabunnuzul

 Kitab yang membahas ilmu ini juga cukup banyak, tapi yang paling sering dijadikaan maraji’ ada dua kitab yaitu; Asbabunnuzul karya Imam al-Wahidy (458 H) dan Imam as-Suyuthi (911 H).

– Balaghah dan I’jaz al-Quran

Perhatian ulama kepada hal ini juga sangat tinggi, hingga banyak karya turats ulama seputar tema ini, diantaranya: I’jaz al-Quran ditulis oleh Imam al-Qadhi Abu Bakar al-Baqilany (403 H), Dalail al-I’jaz karya Imam Abdul Qair al-Jurjany (471 H) dan ada yang dikarang oleh ulama belakangan seperti I’jaz al-Quran yang dikarang oleh Mushtafa Shadiq ar-Rafi’i.

– I’rab al-Quran

Sangat banyak kitab yang ditulis untuk mengkaji tema ini, baik yang klasik maupun kontemporer. Diantaranya: I’rab al-Quran karya An-Nahas (338 H), At-Tibyan fi I’rab al-Quran karya Al ‘Ukbary (616 H) dan yang terbaru I’rab al-Quran al-Karim wa Bayanuhu karya Muhyiddin ad-Darawaisy.  

– Kritik Tafsir

Untuk melengkapi pengetahuan tentang tafsir perlu juga dibaca kitab-kitab yang dikarang ulama kontemporer tentang kritikan terhadap turats tafsir. Gunanya untuk memandu kita dalam membaca karya-karya ulama klasik, supaya tidak salah dalam mengambil referensi dari mereka. Karena para ulama itu adalah manusia biasa juga yang tidak luput dari khilaf. Dari lautan kebenaran yang disampaikan mereka ada secuil kesalahan yang perlu kita koreksi dan hindari. Kitab-kitab itu diantaranya: At-Tafsir wa al-Mufassirun dan Al-Israiliyat fi at-Tafsir wa al-Hadits keduanya karya Dr. Muhammad Husen adz-Dzahaby, Al-Israiliyat wa al-Maudhuat fi Kutub at-Tafsir karya Dr. Muhammad Abu Syuhbah, dan sebuah kitab terbaru Asbab al-Akhtha’ fi at-Tafsir karya Thahir Mahmud Muhammad Ya’qub.

Masih banyak lagi disiplin ilmu yang menjadi bagian dari ilmu-ilmu al-Quran yang tidak kita sebutkan. Kita cukupkan menyebutkan yang sudah ada sebagai contoh, bukan membatasi sampai di situ.

Penutup

            Demikian secara singkat makalah ini kita paparkan, sekadar untuk pengantar diskusi. Semoga kita bisa menyadari, sesunggungguhnya sangat banyak yang harus dipelajari sebelum kita berani berkomentar tentang al-Quran. Kesalahan dalam mempelajari, memahami dan memaparkan ilmu yang berhubungan dengan kehidupan duniawi paling-paling kerugiannya kita rasakan di dunia ini. Tapi kesalahan dalam tafsir, akan mempunyai rentetan ke kehidupan setelah ini. Belajar tafsir tidak bisa hanya bermodalkan dorongan semangat ilmiyah, tapi harus disertai oleh iman yang akan membimbing kita untuk bicara benar, bukan sekadar memenuhi syahwat kalam supaya dianggap orang hebat. Semoga kita menjadi orang yang mendapatkan hidayah dan pembelaan dari al-Quran bukan justru orang yang akan dijerumuskan dan dihujat oleh al-Quran di akhirat sana.Wallahu a’lam bi ash-shwab.

Referensi

  1. Dr. Muhammad Husen adz-Dzahaby, At-Tafsir wa al-Mufassirun, Kairo: Maktabah Wahbah, Cet III, 2000M-1421H
  2. Dr. Muhammad Abu Syuhbah, Al-Israiliyat wa al-Maudhuat fi Kutub at-Tafsir, Kairo: Maktabah As-Sunnah Cet IV, 1408 H
  3. Dr. M. Quraisy Shihab, Membumikan al-Quran, Bandung: Mizan, Cet XXVIII, 2004M-1425H
  4. Abdul Qadir Muhammad Shalih, At-Tafsir wa al-Mufassirun fi al-Ashr al-Hadits, Bairut: Dar al-Ma’rifah, Cet I, 2003M-1424H.
  5. Dr. Abdul Hay al-Farmawy, Muqaddimah fi ‘Ilmi at-Tafsir, Tanpa Penerbit Cet VI, 2001M-1422 H.
  6. Dr. Jamal Mushthafa Abdul Hamid an-Najjar, Thabaqat wa Ittijahat Tafsiriyah, Kairo: Maktabah Al-Husen al-Islamiyah, Tanpa Tahun.
  7. Muhammad Abu Syuhbah, Al-Madkhal li Dirasah al-Quran al-Karim, Kairo: Maktabah As-Sunnah, 1423 H-2003M.

About zulfiakmal

Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Pengembangan Ilmu Al Qur'an Sumatra Barat pengampu mata kuliah Tafsir dan Ulumul Qur'an. Alumni Universitas Al Azhar Cairo jurusan Tafsir.
This entry was posted in Ulumul Qur'an. Bookmark the permalink.

Leave a comment